Opini: Keadaan Sosial Masyarakat Cibinong

Cibinong… mungkin nama ini sudah tidak asing bagi teman-teman yang sering atau pernah melakukan perjalanan dari Jakarta ke Bogor melalui jalan protokol, bukan jalan tol. Ya, hal itu karena Cibinong ialah sebuah kota (kecamatan) di antara Jakarta-Depok dan Kota Bogor yang menjadi penghubung utama Jakarta-Bogor untuk kebanyakan orang. Kalian tahu? di kota inilah aku dilahirkan, di kota Cibinong inilah aku dibesarkan oleh keluargaku.

Menurutku, Cibinong merupakan sebuah kota yang asri. Namun, itu satu dasawarsa yang lalu. Sekarang kotaku ini telah menjadi lumbung pusat perbelanjaan yang sangat berkembang. Tidak ada satu mall pun yang tidak ada di Cibinong. Ramayana, Careffour, Robinson, Matahari… sebut saja semua nama mall yang kalian tahu. Memang, lima tahun belakangan ini, populasi mall di Cibinong meningkat begitu pesat hingga aku nobatkan Cibinong sebagai “Kota Seribu Mall”, pikirku. Bahkan, tidak hanya mall tetapi juga supermarket. Sekarang, ratusan supermarket sudah menjamur baik di perkotaan maupun di daerah pedesaan Cibinong. Jika kalian berkeliling Cibinong, dalam radius setengah kilometer atau kurang dari itu, mesti kalian menemukan supermarket.  Persoalan ini, jika dihubungkan dengan kondisi sosial masyarakat Cibinong, menunjukan suatu keadaan yang memprihatinkan, yakni meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat Cibinong. Bagaimana tidak? Konsep ekonomi mengatakan bahwa tidak mungkin ada yang menjual suatu barang kalau tidak ada yang membeli barang tersebut. Tidak mungkin banyak mall dan supermarket yang dibangun kalau tidak ada konsumennya.

Selain perilaku konsumtif, masyarakat Cibinong juga nampaknya kurang peduli dengan keadaan lingkungan dan pertanian di wilayahnya. Dalam beberapa tahun terakhir, saya melihat adanya pengalihan fungsi lahan bebas (termasuk empang, kebun dan lahan terbuka hijau) untuk pemenuhan kebutuhan “papan” masyarakat. Ya, meningkatnya populasi warga Cibinong berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan tempat tinggal (perumahan) sehingga luas lahan terbuka semakin berkurang. Namun, masalahnya, hal ini tidak diikuti dengan penambahan daerah terbuka hijau (taman, area resapan, dll) sebagai penyeimbang dan pemulih pencemaran. Lahan kebun rumahan dan empang tempat memelihara ikan pun turut menjadi “korban” dari menjamurnya perumahan ini.

Cibinong disebut juga kota “Kota Sejuta Angkot”, ini adalah gelar kedua yang aku berikan untuk kota ini. Sejuta angkot? yaa mungkin tidak sebanyak itu, tetapi memang jumlah angkutan perkotaan (angkot) di kotaku ini tidaklah sedikit. Angkot merupakan salah satu alat transportasi yang digemari masyarakat Cibinong karena dinilai praktis, merakyat (murah), dan menjangkau daerah-daerah strategis. Besarnya jumlah angkot menunjukkan mobilitas warga Cibinong yang tinggi. Setiap hari, ribuan orang mulai dari anak sekolahan, pegawai, pengajar hingga pedagang, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menjalankan aktivitasnya di Cibinong. Penggunaan angkot sebagai moda transportasi umum juga memperlihatkan  kondisi masyarakat Cibinong yang produktif dan mendukung “gerakan hemat BBM” dari pemerintah.

“Berikan aku sepuluh pemuda maka akan ku guncangkan dunia”, ucap Bung Karno pada masa kemerdekaan. Menyinggung tentang pemuda, pemuda-pemudi Cibinong sepertinya sekarang telah menjadi pemuda-pemudi yang “terglobalisasikan”. Khusus di lingkungan rumahku, peran pemuda sebagai agents of change nampaknya belum dijalankan dengan baik. Perkembangan zaman telah membuat mereka lupa atau mungkin belum sadar akan pentingnya mereka sebagai pion pembangun desa. Bukti konkrit dari permasalahan ini adalah kurang pedulinya mereka terhadap kemakmuran masjid di lingkungan mereka. Saya termasuk orang yang melihat keadaan sosial suatu masyarakat dari cara mereka menjaga dan memakmurkan masjid. Semakin baik mereka memperlakukan masjid, semakin baik pula keadaan masyarakat sekitarnya, dan sebaliknya. Kurangnya penanaman nilai-nilai agama sejak dini dari orang tua juga dapat menjadi penyebab persoalan ini.

Akhir cerita, seperti itulah keadaan sosial masyarakat Cibinong, menurut pandanganku. Dalam tulisan ini mungkin saya banyak menceritakan masalah-masalah sosial di Cibinong, namun sebenarnya masih banyak hal positif yang masih belum saya ceritakan mengenai kota ini. Akhir kalimat, semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk teman-teman pembaca.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Pengalaman Pengayaan Bahasa LPDP (Nov 2019 - Feb 2020)

Step by Step: Menulis Proposal Studi dan Rencana Studi LPDP (Self-experience 2019)

Zaman now, nggk bisa bahasa asing?