Cerita Inspirasi


Setiap orang pasti memiliki pengalaman yang berkesan dalam hidupnya, bisa berupa pengalaman baik, buruk, sedih, membanggakan – bermacam-macam. Meskipun berbeda-beda, setiap kenangan itu mesti memiliki kesamaan, yakni sama-sama ‘menyentil’ hati dan memengaruhi mindset si pemilik pengalaman. Nah, di tulisan ini, aku ingin membagi sepotong pengalaman hidupku yang telah meyakinkanku bahwa “Keberhasilan seseorang bergantung pada keberhasilannya berbuat baik kepada kedua orang tuanya”.

Di dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ ayat 23, Allah SWT berfirman:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (Al Isra’: 23)

Hikmah dari pengamalan sebagian isi dari ayat di atas untuk berlaku baik kepada kedua orang tua, telah aku rasakan berulang kali. Berikut ceritanya . . .

***

Cerita pertama muncul ketika aku sedang dibangku SMP – tahun 2011. Saat itu masa ketika kami (aku dan teman-teman SMPku) sedang sibuk berjuang untuk menghadapi ujian yang semua siswa sudah tahu, Ujian Nasional(UN). Sebagai siswa biasa, tidak heran jika aku merasa ada ‘sesuatu’ dalam perasaan yang muncul ketika mendengar hari UN semakin dekat, yang sepertinya teman-temanku pun merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak, hasil jerih payah tiga tahun atau kurang lebih 1095 hari belajar, ditentukan oleh si empat hari ujian ini. Jadi normal rasanya untuk memiliki sebuah rasa cemas – khawatir tidak lulus.
Namun, aku berpikir, “Apakah dengan terlena dengan rasa cemas itu akan menjadikanku lulus dan mendapat nilai terbaik?”.”Tentu tidak”, jawabku. Mulailah ku singsingkan lengan baju, ku luruskan niat, ku pasang target dan ku susun strategi untuk menghadapi si empat hari menentukan ini.

Langkah awal yang ku lakukan adalah meluruskan niat, “Aku belajar bukan untuk nilai yang tinggi tetapi untuk mardhotillah, mencari ridho Allah SWT”. Dengan niat yang benar, aku harap bisa meningkatkan motivasiku dan memunculkan rasa tenang serta tawakal atas segala hasil jerih payahku belajar. Langkah kedua, ku susun rencana dengan hati-hati dan tepat. Rencana yang baik adalah awal dari hasil yang baik, setuju?… Setujuuuuu…Kalimat mutiara ini aku serap dari buku persiapan UM STAN 2014 dengan kalimat yang sebenarnya seperti ini: If you fail to plan, you plan to fail, alias Jika kamu gagal menyusun rencana, kamu menyusun rencana untuk gagal. Kalimat yang singkat namun padat makna.

Langkah selanjutnya, ku kencangkan kuda-kuda dan ku rapatkan barisan kuat-kuat – berkomitmen untuk belajar dengan serius dan teratur. Banyak rencana yang sudah sangat bagus namun gagal menghasilkan hasil yang bagus pula. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya istiqomah dalam menjalankan rencana yang telah dibuat, baik karena sedang “M” – malas, maupun karena sakit atau kegiatan yang padat. Tak mudah memang, namun harus dilakukan demi kemenangan menghadapi si empat hari. Ada satu quote yang cukup menarik dari Pak Thomas Edison, bunyinya seperti ini:
“Banyak kegagalan dalam hidup, mereka tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.” (Thomas Edison)

Quote ini menggambarkan bahwa di antara keberhasilan dan ikhtiar terdapat satu celah sempit yang disebut komitmen atau ke-istiqomah-an. Jadi, tak ada alasan lagi untuk bermalas-malasan atau berputus asa, berhenti berusaha. Langkah terakhir yang paling penting adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, memperbanyak doa, dan meminta restu kepada kedua orang tua… Ingat! Minta restu kepada kedua orang tua. Langkah ini sangat krusial untuk dilakukan karena jika tidak, akan membuat langkah-langkah sebelumnya menjadi sia-sia – tidak bermanfaat atau tidak berkah. Apabila hal yang kita lakukan sudah hilang keberkahannya, tidaklah hal itu bernilai suatu kebaikan di mata Allah SWT sehingga tidak sesuai lagi dengan niat awal kita, yakni mardhotillah. Dengan menerapkan langkah dan prinsip-prinsip di atas, aku berhasil mendapat nilai yang baik dengan nilai rata-rata UN yang memuaskan. Alhamdulillah…

***

Cerita kedua mengambil scene ketika aku SMA – tahun 2013. Pada satu sore, sepulang sekolah, aku didatangi seorang pria berambut lurus bergelombang yang tidak lain adalah temanku sendiri, teman sekelasku. Sebut saja namanya Ihsan. Dengan suara perlahan, dia berbicara kepadaku, “Il, kamu mau ikut lomba MEDSPIN nggak?”.”Lomba apa tuh?”, jawabku. “Lomba cerdas cermat dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga se-Asia Tenggara, tapi per kelompok, mau?”.”Boleh-boleh”, balasku. Percakapan singkat ini adalah awal dari petualangan yang tak ku sangka sebelumnya.

Sebagai siswa SMA biasa, merupakan kebanggaan bagiku untuk bisa mengikuti sebuah kompetisi mewakili sekolah apalagi di tingkat internasional. Namun, karena ini adalah pengalaman pertamaku, aku tidak berharap banyak untuk menjadi juara. “Yang penting pengalamannya”, pikirku. Di sela-sela waktu belajar, ku sempatkan mencari materi atau past paper, soal-soal lomba tahun yang lalu dan ku bahas sendiri atau bersama Ihsan, teman setimku. Hari demi hari berlalu hingga tiba hari penyisihan di tingkat wilayah – di SMAN 5 Bogor. Penyisihan pertama berupa tes tulis. Dua tim dengan nilai tertinggi akan mewakili wilayahnya untuk mengikuti babak selanjutnya di Universitas Airlngga – di Surabaya, langsung di universitasnya. Lagi-lagi, dengan niat yang benar dan kepercayaan antar teman setim, kami masuk dua tim, perwakilan dari wilayah Kabupaten Bogor, yang melanjutkan lomba ke babak selanjutnya. Artinya, kami akan ‘jalan-jalan’ ke Surabaya. Alhamdulillah…
Selang dua minggu berlalu, hari yang ditunggu tiba – aku siap menjadi traveller.

Dengan mengucapkan bismillah, kembali ku luruskan niat dan ku langkahkan kaki menjauh dari keramaian KBM (kegiatan belajar-mengajar) di sekolahku untuk sementara. Satu guru pendamping dan dua kawan setimku menjadi teman seperjuanganku dalam perjalanan ini.
Kami berangkat menggunakan kereta api bisnis dari Stasiun Pasar Senen. Empat belas jam kemudian, kami sampai di tujuan, Kota Surabaya. Di hari pertama, kami habiskan untuk ‘belajar’ mengenal seluk beluk kota pahlawan ini – selagi masih ada kesempatan karena besok kami akan sudah sibuk dengan hiruk pikuk kompetisi. Kami pun pergi berkeliling kota dengan bus, gratis. Ya gratis, karena kami bergabung ke dalam free tour batch dari The House of Sampoerna – salah satu museum kretek besar dan terkenal di Surabaya. Lumayan untuk mengamankan isi kantong kami. Bersama rombongan, kami diajak berkunjung ke tempat-tempat bersejarah di Kota Surabaya seperti Tugu Pahlawan, Jembatan Merah dan makam para pahlawan. Selain mendapat tumpangan gratis, kami juga mendapat penginapan yang nyaman dan hijau. Kami juga sempat naik kendaraan rakyat – becak, untuk berkeliling kota dan mencicipi kuliner tradisional di pinggir jalan. Jadi, kami ini sedang kompetisi atau sedang liburan ya?. “Yaa bisa dibilang, kami sedang liburan sambil berkompetisi, hehe…”, jawabku.

Karena kami liburan sambil berkompetisi, kami menganggap semua yang kami lakukan di sini adalah aktivitas liburan – untuk refreshing, bahkan kompetisi MEDSPIN itu sendiri. Namun, pemikiran seperti ini malah memberi sugesti positif. Kami menjadi lebih santai dan menikmati setiap tahap kompetisi tanpa banyak memikirkan hasilnya. Alasannya, karena kami berpikir kami sedang liburan. Mengerjakan dan menjawab soal-soal kedokteran, yang sebenarnya kami tidak mengerti, pun kami lakukan dengan sukarela, tanpa paksaan, dan senang hati. Luar biasanya, tak terasa kami lolos dari babak penyisihan kedua, ketiga, semifinal, final, hingga grand final. Hingga pada akhirnya, kami menjadi Juara Harapan Dua atau Juara Kelima – peringkat yang tak kami sangka bakal mendapatkannya.

Setelah membaca sampai sini, tahukah kalian hikmah terpenting dari pengalaman kedua ini?
Menurutku, makna penting dari lomba MEDSPIN ini adalah ketika aku pertama kali berangkat untuk menghadiri babak penyisihan pertama. Saat itu hari masih gelap, ba’da subuh, kami sedang sarapan sebelum berangkat. Sebelum naik mobil, aku ingat kembali, “Adakah sesuatu yang masih tertinggal?”, dan entah datangnya dari mana, secara spontan, muncul dalam pikiranku, “Menelepon orang tua”. Kalau direnungkan kembali, memang sejak Ihsan menawariku menjadi timnya hingga saat ini aku sama sekali belum memberitahu orang tuaku perihal lomba MEDSPIN ini. Tanpa basa-basi aku izin sebentar kepada guru pendampingku, ku cari nomor kontak orang tuaku – aku mulai menelepon. Ku ceritakan dengan singkat apa yang akan ku lakukan hari ini dan meminta doa restu kepada ibuku di ‘balik’ gagang telepon agar semuanya bisa berjalan lancar. Setelah mungkin kurang dari dua menit, ku putus hubungan telepon. Meskipun singkat, momen ini telah membuatku menjadi lebih percaya diri dan hatiku menjadi lebih ‘plong’ karena merasa sudah tidak ada yang tertinggal. Mungkin disebabkan oleh momen singkat ini kami bisa mengerjakan soal-soal lomba dengan mulus. Mungkin disebabkan oleh momen singkat ini pula aku bersama timku bisa lolos babak penyisihan pertama sehingga kami bisa bermain ke Surabaya dengan segala pengalaman dan kegembiraan yang kami terima di sana. Di hotel tempat kami menginap selama tiga hari kompetisi, juga ku sempatkan menelepon orang tua ketika baru saja sampai, ketika malam saat santai, dan ketika pagi sebelum berangkat ke arena perlombaan. Alhasil, seperti yang kalian tahu, timku dengan lancarnya berhasil maju hingga babak grand final dan membawa pulang trophi Juara kelima. Subhanallah… Momen-momen inilah yang telah ‘menyentil’ hatiku dan mencerahkan mindset-ku akan arti pentingnya berbuat baik kepada kedua orang tuaku. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
…dari Abdullah bin ‘Amrin bin Ash r.a. ia berkata, Nabi SAW telah bersabda:
“Keridhoaan Allah itu terletak pada keridhoan orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murka orang tua” ( H.R. At-Tirmidzi. Hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim)

***

Akhir kata, semoga cerita ini bisa bermanfaat untuk teman-teman pembac

Thank you for reading :)

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Pengalaman Pengayaan Bahasa LPDP (Nov 2019 - Feb 2020)

Step by Step: Menulis Proposal Studi dan Rencana Studi LPDP (Self-experience 2019)

Zaman now, nggk bisa bahasa asing?